Thursday 25 October 2012

Coz I am Young

Tulisa - Young


Forgive me for what I have done
Cause I'm young


I make mistakes that I learn from
Cause I'm young

I'm sorry I'm not even done
Cause I'm young
Yeah I'm young....



Olivia

Escape to Anyer Beach (Pantai Anyer)

Two months ago, I went to Anyer beach to escape from my daily activity. Coincidentally, it was right on Indonesia Independence day, 17th August. It was my other unorganized journey (as usual). The night before the trip, I got a text from one of my best travel buddy. He offered me to go to a beach tomorrow. I was not even sure which one, yet I was excited for a beach. Afterwards, I texted one of my girl friend to come along with me because I did not want to be the only girl in the trip (there were  other boys).

When we got into the car, the boys then suggested to find a place to stay overnight (FYI I only brought one swimsuit and one change clothe). We finally ended up renting kinda mini house in a resort area called Patrya Anyer which view is directly toward the beach. There are two rooms, one kitchen, one parking place, one living room, etc. It cost us Rp.1.500.000 for a night and we split it up. Since there were 10 of us, it did not cost us much. For the food, we went to several seafood restaurants there. As you know, it is very easy to find seafood restaurant around beach area. I did not find any problem at all eating in seafood restaurant two times in a row as I extremely loooove seafood. 

These are some snapshots.

The room is big!



The boys





Overall, I found Pantai Anyer is clean and calm. It is not too crowded like in Ancol (euh… I’ll never jump myself there). It is worth to try, at least once. Happy holiday!



Olivia

Sunday 21 October 2012

A Fair Trade Case in Melbourne, Australia

I was digging my photo album before going to sleep and stumbled upon these pictures.
The memories of two years ago, back in 2010, when I was still a student and rushing the deadline of my undergraduate thesis on Fair Trade.
I then decided to go to Melbourne which initial purpose was to gain more concentration but  ended up doing nothing-much esc. hanging around with my than bf.
Still, I thank him deeply for  for accompanying me everywhere to get information and interviewing people on my research topic. Ultimately I thank him for patiently handling my mood-swing as the effect of writing hundreds pages of a thesis.






While waiting for me writing thesis

















I slept on a sofa in d middle of park at 1 PM




Ps. I know you don't like it I publish photos here, but I just love these photos. =P


Olivia

Saturday 20 October 2012

Dibalik Menjamurnya Komunitas Informal untuk Kaum Marginal

Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan membantu teman dibawah payung sebuah NGO membersihkan gedung komunitas informal yang dijadikan area belajar mandiri oleh para warga di sekitar wilayah Cilincing, Jakarta Utara. Komunitas ini diinisasi oleh seorang Bapak pendeta dan juga kepala sekolah yang telah sadar pentingnya pendidikan bagi masyarakat kurang mampu di wilayahnya. Ini merupakan pertama kalinya saya melakukan kegiatan volunteering di wilayah tersebut. Seblumnya sewaktu masih berkuliah, saya sempat aktif meluangkan waktu mengajar untuk anak-anak kurang mampu di daerah terpencil di sekitar Depok dan Manggarai Selama dalam perjalanan menuju lokasi, saya sudah merasa kumuhnya daerah tersebut. Jalanan berdebu dan penuh dengan truk-truk kontainer yang mengangkut barang komoditas dari dan menuju pelabuhan. Jujur saya tidak melihat daerah tersebut ideal untuk dihuni sehari-hari. Adapun komunitas informal ini dirancang utamanya untuk mengajar anak-anak kurang mampu atau anak-anak jalanan di sekitar wilayah jangkauan komunitas tersebut. Selain itu, komunitas ini membantu pula orang tua anak tersebut untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuannya.

Dari beberapa komunitas lokal dimana saya sempat berkontribusi, saya melihat beberapa persamaan:

1. Dari segi fasilitas

Umumnya di komunitas tersebut tersedia fasilitas berikut:

a. Alat untuk kegiatan mengajar seperti papan tulis, buku, alat-alat tulis dan terkadang didukung perangkat komputer.

b. Perpustakaan mini dimana koleksinya tidak hanya terbatas pada buku pelajaran saja tapi juga buku fiksi yang mendidik.

b. Suplemen berupa susu atau biscuit untuk para murid (umumnya tidak dibeli sendiri tapi merupakan sumbangan dari donor).

2. Dari segi aktivitas.

Ada beberapa aktivitas yang seragam yang dilakukan komunitas informal ini:

a. Belajar – mengajar: Ini biasanya merupakan kegiatan utama komunitas. Koordinator sekaligus guru utama adalah pendiri komunitas. Kekurangan tenaga pengajar teratasi dengan kontribusi para volunteer yang pada umumnya adalah mahasiswa lokal. Terkadang volunteer dari negara luar datang untuk mengajar, untuk jangka waktu yang bervariatif (bisa sehari ataupun berbulan-bulan lamanya).

b. Keterampilan: Pada umumnya ibu dari para murid dikomunitas ini bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga. Untuk mengisi waktu luang mereka, mereka diberikan seminar atau penyuluhan untuk mengubah konsep/ paradigma berpikir. Selain itu mereka juga diberikan keterampilan seperti membuat kerajinan dari sampah plastik atau bentuk kerajinan lainnya yang bertujuan membantu mereka mengembangkan diri dan mandiri dalam hal finansial.

c. Pemberian kredit: Walaupun jumlahnya tidak besar, terkadang diberikan pula dana bantuan untuk para ibu sebagai modal untuk memulai usaha kerajinan yang telah diajarkan sebelumnya kepada mereka.

d. Koperasi: Umumnya semacam arisan yang dirancang untuk mengajarkan para ibu rumah tangga tersebut untuk menghemat dan menyimpan uang.

e. Beasiswa: Bila terdapat cukup dana, komunitas akan memberikan beasiswa seadanya kepada murid yang kurang mampu namun berprestasi.

3. Dari segi pendanaan
Biasanya dana yang datang berasal dari NGO lokal/internasional ataupun CSR berbagai perusahaan lokal dan asing. Terkadang kelompok tersebut tidak hanya menyumbangkan bantuan dalam bentuk finansial, namun juga dalam bentuk tenaga.
Sebagian besar masyarakat di komunitas tinggal di balik/berdampingan dengan TPA ini
Yenni (salah satu murid komunitas) dan Ibunya

Dalam kacamata saya, ada fenomena menarik yang bisa ditilik dibalik menjamurnya komunitas-komunitas informal ini. Pendirian komunitas informal secara pararel di berbagai wilayah di Jabodetabek oleh warga lokal adalah indikator bahwa pemerintah tidak mampu untuk secara menyeluruh memenuhi kebutuhan pendidikan mendasar bagi seluruh masyarakat. Dengan kata lain pemerintah telah mengabaikan amandemen UUD 1945 Ke IV (tahun 2002) tentang pendidikan.

Pasal 31 ayat 1,2,3,4,5, berbunyi :
Ayat 1 : Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan

Ayat 2 : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya

Ayat 3 : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ,yang diatur dengan undang-undang

Ayat 4 : Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang – kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan nasional

Ayat 5 : Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai – nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan kesejahteraan umat manusia.



Dapat dilihat bahwa dalam ayat 4 UUD Pasal 31 tertulis bahwa sekurang – kurangnya 20 % dari APBN adalah untuk pendidikan. Itu artinya untuk APBN tahun 2012, pemerintah sekurang-kurangnya menyisihkan sekitar 20 persen dari pendapatan negara sebesar 1.358,3 Triliun rupiah (per Juli 2012). Apabila hal ini diwujudkan secara realistis, tentu tidak ada lagi masyarakat yang masih merasa kekurangan pendidikan yang layak mengingat jumlah tersebut bukan angka yang kecil. Namun karena dalam pelaksanaannya masih banyak anggaran yang ‘bocor’, akhirnya dana tersebut tidak sampai pada kelompok yang paling membutuhkan dan berakhir untuk segilitir kelompok tertentu.

Hal ini sangat disayangkan mengingat pendidikan adalah modal utama untuk keluar dari jurang kemiskinan. Selaras dengan kutipan mutakhir Nelson Mandela “Educationis the most powerful weapon which you can use to change the world”, saya juga percaya bahwa untuk mentransformasi angka kemiskinan yang masih tinggi di Indonesia, pendidikan merupakan kunci utamanya. Namun sayangnya dalampenyelenggaraan pendidikan di Indonesia, distribusi pendidikan belum merata. Masyarakat yang berada di lapisan atas dari strata sosial dapat dengan gampang mengakses pendidikan internasional yang mahal dan berkwalitas tinggi, sementara masyarakat yang paling miskin di Indonesia kesulitan mengakses pendidikan dan bila pun ada hanya mampu mendapatkan ilmu ala kadarnya. Apabila pendidikan yang layak tidak dapat tersalurkan kepada masyarakat kelompok bawah, maka tertutup pula peluang bagi mereka untuk dapat memperbaiki kondisinya.

Kesadaran akan hal ini menjadi landasan masyarakat lokal tersebut berinisiatif untuk memberdayakan diri dan komunitasnya. Menurut saya pemerintah sudah selayaknya membuka mata terhadap fenomena ini. Sudah seharusnya komunitas seperti ini mendapatkan apresiasi dan bantuan dari pemerintah, sehingga pendidikan bagi masyarakat kelas bawah tidak hanya terfokus pada pendidikan formal yang pas-pasan, namun juga pendidikan ekstra yang untuk mendukung pendidikan formal di sekolah dan pengembangan diri. Sebagian kecil dari anggaran 20 persen untuk sektor pendidikan akan sangat bermanfaat apabila dialokasikan untuk pengembangkan pendidikan yang telah dimulai sendiri oleh masyarakat lokal yang termarginalisasi. Selain itu perlu pula dibuat aturan formal yang dapat mengkoordinasi komunitas-komunitas ini sehingga tercipta jaringan yang dapat mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan para donatur dan volunteer.


Olivia

Kekosongan Capacity Building dalam Sistem Birokrasi Pemerintah

Beberapa hari yang lalu ada teman saya yang curhat mengenai keinginannya untuk berhenti dari insitusinya (institusi pemerintah) yang sekarang. Namun ia sendiri masih bingung dengan pilihan apakah ia harus tetap berada di tempatnya bekerja dan memperbaiki kesalahan dalam sistem kerja yang ada atau perlukan ia kerja di institusi lain dengan sistem insentif dan disentif karyawan yang jelas. Permasalahannya di inistitusinya yang sekarang, dia tidak melihat adanya capacity building yang jelas. Hampir seluruh karyawan yang bekerja disana diperlakukan sebagai pelaksana kegiatan. Mereka (termaksud teman saya ini) tidak mengerti substansi dari pekerjannya. Hal ini karena mereka tidak pernah dilibatkan dalam merancang sebuah program/project. Tidak ada komunikasi dua arah antara atasan dan staf. Mereka hanya harus melaksanakan program sebagaimana telah dirancang di dalam TOR.

Berdasarkan pengamatan saya, kebanyakan insitusi pemerintah belum memiliki mekanisme insentif dan disinsentif karyawan yang jelas. Atasan sibuk dengan pencitraan dirinya sehingga mengabaikan staf yang selama ini membantunya di balik layar. Akibatnya kemampuan staf mandek, hanya bisa mengerjakan pekerjaan administrative yang itu-itu saja tanpa mengerti big picture dari seluruh rangkaian kegiatan yang mereka lakukan. Selain itu, mereka tidak tahu value pekerjaan mereka. Itu sebabnya kebanyakan karyawan yang memilih terus bekerja diinstitusi pemerintah tidak punya passion terhadap pekerjaan mereka. Hidup menjadi monoton: bangun pagi, sarapan, kerja, makan siang, kerja lagi, pulang, makan malam, tidur. Begitu terus ritmenya. Dengan biaya hidup yang tinggi di Jakarta, bekerja dengan kondisi seperti itu bagai di hukum penjara seumur hidup bagi saya.

Pemimpin yang baik seharusnya memperhatikan kondisi lingkungan kerja mereka. Pemimipin yang mengutamakan pencitraan saja tidak bisa dibilang sebagai pemimpin. Bagaimana pun yang memimpin Indonesia nantinya adalah generasi muda. Itu sebabnya penting untuk memberikan capacity building untuk kaum muda yang baru menjejaki kariernya di pemerintahan. Bila terus menerus dibiarkan kosong, lama-lama mereka akan terbiasa dengan kondisi tersebut. Lebih ironis lagi adalah bila akhirnya mereka kebal dengan sistem birokrasi yang terlalu berbelit-belit dan merasa tidak ada yang salah dengan kondisi tersebut.

Proses pemberian capacity building kepada karyawan memang tidak bisa disimplifikasi. Perlu ada assessment yang jelas terhadap potensi dan kemampuan karyawan. Hanya saja, saya melihat bahwa dalam sistem birokrasi pemerintah kebayakan, tidak ada proses assessment yang jelas terhadap karyawan. Semuanya seolah-olah disamaratakan yakni yang senior diprirotiaskan untuk mendapat capacity building. Padahal belum tentu si senior layak mendapatkannya dan bisa saja si junior memiliki potensi yang sangat bisa dikembang dan akan bermanfaat bagi institusi tersebut. Fenomena yang sedang terjadi ini adalah sebuah sistem birokrasi hirearki yang telah tersistematis sejak sangat lama (sisa peninggalan sistem birokrasi kolonial Belanda) sehingga akar kebobrokan menjadi sulit dibongkar. Bukan rahasia lagi bahwa sistem birokrasi tersebut tidak ideal dan sudah sepantasnya diubah.


Olivia  

Wedding Anniversary in Phuket, Thailand

In January 2010, I went to Phuket, Thailand, with my family (esc. my brother). The purpose of our visit was to celebrate my parent’s 25th wedding anniversary. I was still in Australia (I went there for study abroad program) when I booked the flight and the hotel. The flight was pretty cheap! The four of us (my parents, me and my sister) leaving to Phuket from Medan by Airasia and it all cost us only Rp.1.000.000,- (appox 100 dollars) for return ticket. Airasia was on promotion and I did not miss the opportunity. Too bad they have closed the Medan-Phuket route. Probably due to less passengers fly in this route. Medan and Phuket are actually pretty close though. It takes less than 1 hour (probably 45 minutes) to reach Phuket from Medan and vice verse.

For the hotel, I booked it through bookings.com and it was pretty easy. Since I booked it for 5 days at once, I received a bit discount. Later on I found out that the hotel is in the middle of the island and quite far from beach area. Thus, we need to take local bus (or truck) to reach the tourism sites, which is mostly near beaches. We chose bus as traveling with it cost less rather than taking Tuk-tuk (three wheels), which is the most common transportation there.

The thing which I love the most in Phuket is the food! Seriously I loveee Thai food so damn much. I bet Gastronomiers would love to spend time traveling in Phuket or Thailand as a whole. They serve some really spicy foods with a lot of ingredient. And they are so unique and yummy!

As it is already two and half years past, I vaguely remember places which we visited. I just remember we went to orchid garden, big malls, the place where they shoot “The Beach” movie, and the most excited one was to Phiphi Island by boat. I think Phiphi is very much similar with the situation in Gili Trawangan, Lombok. Mini island with beautiful beach scenery, a lot of facility such as Commonwealth ATM in the middle of nowhere, bicycle to travel around the tiny place, cafes and bar, lovely small hotels, etc.

Although my parents liked the trip as a whole, but they did not enjoy it when I took them sunbathing or jumping from one place to another place quickly. They have a very different preference from me. Lesson learn: when you travel with your parents, please just take a tour packet. As they are not as energetic as you are anymore, they love relax yet boring travel tour.

I am still mom n dad's little girl
Phuket has invented a new unique sign
Yellow umbrellas everywhere and I was busy with a snail
Dad was "Lets find a food", I was "Where else?"
Mon family ;)

Insects for snack, anyone?

This is the bus!
I was still chubby (I lost 10 kgs now)
The beach is so clear

Its us!

How I love them so much!

Dad was getting bored in the airport before we departed home


Olivia

Wednesday 17 October 2012

Career Shifting


Job is about learn and share.

It is about living your vision in life.

If you have a mindset that you are doing your job only to get salary in order to feet yourself and to practice your consumerism way of life, you’ll never find your job amusing.

In contrary, if you do your job with passion, I bet you’ll never really feel bored of it.

So, when you feel that you don’t fit with your job, just leave it!

Seriously, leave it! Please don’t wait too long.

I am sure you deserve much much better, as long as you know exactly what you want to do in your life.

And as long as you know how to enhance your skill to reach your goals.




Any of your working places is never been the end.

It is just a stop-over to reach your career vision.

What important the most is your progress in achieving your mission.

Make a target, put it on a list, do it, strive for it and believe it to be happen.

Make sure that your life is meaningful to as many people you could reach.

Let’s life passionately.



Olivia

Tuesday 16 October 2012

Pengalaman Volunteer di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2012

Dari tanggal 2-7 Oktober yang lalu, saya berada di Ubud bekerja sebagai volunteer di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2012. UWRF adalah festival literacy internasional yang diadakan setiap tahun di Ubud dengan mengundang sekitar 150 penulis Indonesia dan internasional. Festival yang diselenggarakan dibawah Yayasan Mudra Swari Saraswati pertama kali diadakan pada tahun 2004 sebagai wahana terapi atas peristiwa Bom Bali di tahun sebelumnya. Di 2012, UWRF sudah mencapai tahun ke- 9 pelaksanaanya.

Keikutsertaan saya dalam kegiatan ini sebenarnya berawal dari keisengan. Dua bulan sebelum pelaksanaan festival, saya dan seorang teman asyik membahas tentang festival Couchsurfing dalam perjalanan kami menuju Anyer. Untuk mencari informasi yang lebih detail, saya kemudian browsing kegiatan volunteer di Bali dari i-pod saya. Namun bukannya mendapat informasi tentang festival Counchsurfing, saya malah tersasar di situs UWRF. Dari situs tersebut, saya pun mengetahui bahwa UWRF sedang membutuhkan volunteer untuk festival yang sedianya akan dilaksanakan di awal Oktober. Tahun sebelumnya, saya memang sudah pernah mendengar soal UWRF dari salah seorang rekan kerja saya. Namun berhubung pelaksanaan UWRF tahun 2011 diselenggarakan pada hari kerja dan saya juga belum dapat mengambil jatah cuti, saya akhirnya mengurungkan niat untuk menghadiri UWRF 2011. Tahun ini, kebetulan pelaksanaanya bertepatan dengan masa break kerja saya sebelum memulai pekerjaan baru. Oleh karenanya, dengan senang hati saya pergunakan jeda ini untuk menghadiri UWRF 2012.

Keuntungan utama yang saya dapat sebagai seorang volunteer adalah saya boleh memasuki main events secara gratis (plus ikutan program Yoga gratis). Biasanya untuk menghadiri main events, peserta diwajibkan membayar (dibedakan antara peserta asing dan domestic). Meski begitu, tidak semua kegiatan di UWRF berbayar. Ada beberapa kegiatan yang bisa diikuti oleh peserta secara gratis. Selain main event, kegiatan lain yang ditawarkan di UWRF adalah special events, workshop, book launches, children and youth program, dan community and arts programs.

Di main event sendiri ada beberapa sesi diskusi pararel dengan topik yang tidak kalah menarik dan dilaksanakan secara bersamaan. Hal itu malah membingungkan saya untuk memilih hadir di diskusi yang mana. Mendengarkan diskusi dari pembicara di main events membuat saya merasa kembali ke bangku kuliah dulu. Pembahasan yang disajikan sangat mendalam dan mengena. Memang terkadang ada pembicaraan yang lari dari topik pembahasan, namun isu yang dibahas masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Misalnya tentang sustainable tourism di Bali, tentang Western vs Eastern culture, tentang karya-karya Pram, dll.

Secara garis besar, ada banyak hal yang saya dapat selama mengikuti UWRF. Banyak penulis inspiring yang menyumbangkan pemikiran yang mind-enlightening, contohnya saja Butet Manurung (my favorite one), Mira Lesmana, Riri Reza, dan Jose Ramos-Horta (mantan presiden Timor Leste). Bukan cuma ide ide dan gagasan baru yang saya dapat selama mengikuti UWRF, tetapi juga teman baru dan nuansa hidup di Ubud, Bali. Dengan saya bekerja sebagai volunteer di UWRF, saya mendapat kesempatan bertemu dengan volunteer lain dari penjuru Indonesia. Hal yang tidak kalah menyenangkan dari keikutsertaan sebagai volunteer adalah kesempatan berkenalan dengan para penulis internasional yang mengisi acara tersebut. Kebetulan saya di tempatkan di “Green Room” yakni ruangan khusus untuk membantu kebutuhan para penulis, sehingga membuka jalan bagi saya untuk mengobrol dengan para penulis yang kebetulan sedang singgah di ruangan tersebut.

Ironisnya kebanyakan peserta yang datang ke UWRF adalah orang-orang asing di usia matang. Jarang sekali saya melihat anak muda Indonesia asyik mendengarkan diskusi . Bila pun ada yang menghadiri event, mereka biasanya lebih tertarik untuk menghadiri pemutaran film. Umumnya masyarakat Indonesia yang hadir adalah volunteer event tersebut atau murid sekolah internasional yang datang ke UWRF sebagai bagian dari kegiatan ekskursi sekolah. Mungkin hal ini terjadi dikarenakan kurangnya promosi terhadap festival literacy di Indonesia, mungkin pula karena kurangnya kesadaran anak muda tentang pentingnya sastra atau mungkin karena untuk mencapai Bali demi sebuah festival literacy membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mungkin saja ketiga-tiganya. Saya miris sekali dengan kondisi tersebut, sebab sebenarnya kegiatan seperti ini sangat bermanfaat.

Saya sangat berharap sekolah-sekolah di Indonesia mulai memberi perhatian pada karya sastra Indonesia. Sastra Indonesia sebenarnya kaya sekali, namun entah kenapa tidak diberi banyak perhatian. Pelajaran bahasa Indonesia yang 12 tahun wajib di sekolah pun biasanya hanya membahas tata bahasa yang itu itu saja dan membosankan. Semoga dikedepannya ada reformasi terhadap mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat disisipkan pengetahuan sastra yang lebih mendalam sehingga memancing keingintahuan anak muda Indonesia untuk mendalami sastra negeri sendiri dan untuk menghadiri festival literacy.



Suasana di "Green Room", tmepat saya bekerja
Saya dan Butet Manurung, penulis dan aktivitis yang mengisi acara UWRF
Suasana diskusi di salah satu main events
Banner UWRF tepat di depan Istana Puri
Saya dan Tah Riq, salah satu musisi pengisi acara
Band pengisi Closing Party

Olivia

Friday 12 October 2012

Morning Crumbling

It makes me having migraine on the first day after returning back from Jakarta

The same cliché: traffic, crowded, dust, crimes.

People are walking fast chasing their ambitions, no one smile sincerely.

They are also stress. This has become the reason why too many shopping centers were built in Jakarta, as a place to manifest your stressfulness.

It is amazing to see that Jakarta has more branded stores than other big cities in more developed countries.



For 10 million people living in the same city, it is not hard to make friends actually.

Yet, they are busy with themselves.

Thus people often find loneliness in the middle of throngs.

What is that for? You are busy creating your own image on Facebook or empty talking on Twitter.

Checking emails or blackberry msgrs every single minutes as if the world will stop revolving if you don’t.

You are busy having conversation with not real friends in the virtual worlds while ignoring your real friends who sit right in front of you.

What happen with this civilization?

Modern society, do you feel proud of your inventions?

It only brings us toward dehumanization.

I rather myself live peacefully in a jungle rather than chasing fake illusion which will fade away in a few moments.



I have to get out alive soon, otherwise I will leave my soul die inside.



Olivia

Weekend in Pulau Pantara, Thousand Island

On last 29-30th September, I spent my last days in my previous working place by outing in Pulau Pantara. How nice it is. Although it was actually a weekend, but who cares? It is an outing!

Pulau Pantara is the farthest among  the other in Thousland Island area. It is a very small tiny island with only one exclusive resort on it. To reach Pantara, it takes around 1.5 hours using fast boat from Marina Port in Ancol. Those who live in Pantara are mostly the resort's workers. There is actually no local living there, which makes the beach less trash polluted compare with other islands. It costs about Rp.2.000.000,-/nett to stay there on weekend (include transportation, accommodation, foods, snorkeling equipment, etc)

From my experience, the beach is so clear that you can watch the corals even from the foreshore. We had a great fun while in there with games, snorkeling, barbecue, but not to mention some hours of workshop on coastal management  topic. Too bad I was still under recovery condition from diarrhea at that time which made me unable to enjoy all the activities.

Here are snapshots... (I didn't bring my SLR so the photos were taken from my i-pod with not so good resolution. Sorry guys)

This meeting room is also functioned as a disco room at night. Very creative!












Seriously I felt like coming back hometown as they played Batak song as the welcoming song


Olivia

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Popular Posts