Thursday 28 November 2013

Learning Project

I’ve been spending a lot of time lately sleeping in my bed, reading books, watching TV and playing with my dogs. Despite the rising status of Mt. Sinabung eruption (which is only few km from my house), I am enjoying a simple and cozy life in my hometown. Here I also have time to write things which I learn from my life (I have been living by myself since I was 17, transferring myself from daddy’s little girl into a little ambitious bitch).


“Problems are there to make you wiser and stronger”

“Hard work will never worthless”

“Dreams is a no non-sense word”

“Whatever you do or wherever you are, haters will always love you and lover will always love you”

“Don’t give up! No matter what! (If you can’t do it for yourself, do it for me please.)”

“Job is a place for you to learn and contribute at the same time. If you could not find both, you better leave it”

“Passion + hard work = masterpiece”

“Mistakes is needed for you to learn and be a better person”

“People have their own definition of happiness as well as they way to achieve it, that’s why you should not compare yourself to anybody”


I think I have almost everything I want and need at my quarter of century age. The thing is I am a persistence person, I won’t stop until it is in my hand. Next mission: how to transform my life so it could be useful for the life of many unfortunate people (like seriously).


I will close this post with this video from Naughty Boy ft Sam Smith  (lalala) which I adore so much!

I am covering my ears like a kid, when your words mean nothing I go lalala...

 
Love,

Olivia

Tuesday 26 November 2013

Resensi Buku The Hunger Games


Minggu lalu, seusai menonton seri ke dua dari sequel The Hunger Games “ Catching Fire” di bioskop, saya langsung tertarik untuk membaca buku pertamanya. Dan dalam waktu singat, saya berhasil membaca isi buku yang memang sangat menarik tersebut. Harus saya akui bahwa The Hunger Games adalah salah satu buku petualang anak terbaik yang pernah saya baca. Usai membaca buku tersebut, saya terus terbayang dengan tokoh-tokoh dikisahkan, Katniss, Peete, Primrose, Haymitch, Cinna, Rue, Gale, dll. Alur penelusuran cerita oleh si pengarang Suzanne Collins deskriptif namun tidak membosankan, penuh dengan khayalan yang membuai. Karakter yang dikembangkan juga sangat jelas dan mengalir.

Seperti filmnya, buku Hunger Games bercerita tentang Katniss Everdeen, seorang gadis remaja usia 16 tahun yang bertarung dalam pertandingan tahunan di Palem, sebuah negara khayalan di Amerika Utara. Pertandingan (atau lebih cocoknya hukuman) bernama “Hunger Games”ini diadakan untuk memperingati pemberontakan yang dilakukan oleh 13 di distrik kepada Ibu Kota negara yang dinamakan Capitol. Pertandingan ini melibatkan masing-masing satu anak laki-laki dan perempuan usia 12-18 tahun dari tiap distrik. Pertandingan yang telah berlangsung selama 74 tahun itu disiarkan langsung melalui TV ke seluruh seantaro negeri dengan tujuan menghindari adanya pemberontakan lagi. Di akhir pertandingan akan keluar satu pemenang yang akan dilimpahi hadiah pribadi serta kebutuhan pokok untuk distriknya. Pemenang juga bertanggung jawab menjadi mentor bagi anak laki-laki dan perempuan yang mengikuti pertarungan “The Hunger Games” di tahun-tahun berikutnya.

Jennifer Lawrence berperan sebagai Katniss Everdeen dalam film.
Sebagian isi buku menceritakan karakter Katniss yang pemarah dan keras kepala dalam menghadapi para pejuang Hunger Games dari distrik lain.Katniss sendiri sebenarnya tidak terpilih untuk pertandingan tersebut, namun menawarkan diri ikut untuk menggantikan adiknya yang masih berusia 12 tahun bernama Prim. Ia disandingkan dengan anak toko roti dari distrinya bernama Peete. Peete yang diam-diam telah jatuh cinta padanya sejak usia 5 tahun, berusaha melalui banyak cara untuk menyelamatkan gadis tersebut. Katniss sendiri berpura-pura jatuh cinta pada Peete hanya untuk menarik simpati penonton yang diharapkan dapat memberi sponsor berupa barang-barang yang dubutuhkan selama pertandingan. Katniss yang hidupnya melarat memiliki kemampuan memanah yang baik yang dipelajarinya secara otodidak dari kegiatan berburu di hutan. Hal itu yang menjadikan dia sosok yang tangguh dalam pertandingan. Di bagian akhir cerita dikisahkan bagaimana para pejuang yang awalnya bersekutu harus memiih untuk membunuh satu dengan yang lain karena peraturan menyebutukan hanya ada berlaku satu pemenang.


Pesan yang saya dapatkan dari membaca novel ini adalah tentang pengorbanan, cinta, harapan dan perjuangan. Bacaan yang sangat disarankan!



Love,


Olivia


Thursday 21 November 2013

Sebuah Percakapan ditepi Jalanan Saigon

I always pretend that I am strong but there are times where I feel so fragile and lost. –me-

(Kisah ini adalah kejadian nyata dan sengaja di buat dalam bahasa Indonesia agar tokoh yang diceritakan di dalam tidak mengerti kecuali berniat menerjemahkan dengan Google Translate )


Sabtu tanggal 19 Oktober yang lalu aku berangkat ke Ho Chi Minh (HCM) atau Saigon, Vietnam. Perjalanan solo travel tersebut aku mulai tanpa ada rencana menginap dimana, pergi ke mana dan mau ngapain. Aku akhirnya memutuskan untuk menggunakan tiket penerbangan yang sudah aku reschedule dua kali tersebut (yang biaya totalnya akhirnya double dari harga beli awal). Dengan mengenakan kaos putih, hot pants dan tas backpacker hitam aku bertolak menuju ke Vietnam , transit di Singapore selama dua jam. Karena aku berangkat ke Bandara Soekarno Hatta langsung dari konsultasi dokter, isi tasku penuh dengan berbagai macam obat-obatan sampai-sampai aku kwatir apabila obatnya tidak lolos screening.

Aku membawa pikiran kabut selama di pesawat. Badanku letih karena selama seminggu terakhir aku sibuk sekali dengan berbagai acara dengan teman teman di kelas pre-departure training beasiswa studiku di Australia. Belum lagi pindahan ke apartemen baru ku di Depok yang membuatku harus mondar mandir ke beberapa tempat mencari furniture. Di luar dari itu ada hal lain yang sangat mengganjal dalam pikiranku, kondisi kesehatanku. Aku menulis dan menulis di dalam pesawat untuk menuangkan semua pikiran yang berkecamuk di kepalaku sampai akhirnya tertidur pulas.

Setibanya di HCM city aku langsung meluncur ke daerah Pham Ngu Lao yang merupakan pusat turis backpacker. Aku memilih tinggal di kamar dorm share dengan enam orang lainnya. Aku tidak punya ekspektasi tinggi di perjalanan kali ini jadi aku putuskan untuk melihat lihat brosur trip harian yang tersedia di hostel (kebetulan lantai dasar hotel adalah agen tour travel). Jadi beginilah perjalanan wisataku di Vietnam kalau di runut. Hari pertama aku berwisata keliling kota HCM bersama tiga orang lokal kenalan Couchsurfing yang dulu sempat kuajak berkeliling sewaktu mereka berwisata di Jakarta. Hari kedua aku berwisata dengan tur Mekong River dari pagi sampai sore. Hari ketiga mengambil paket trip Chu Chi Tunnel.

Nah, di hari ketiga tersebut aku bertemu dengan S, seorang berkewarganegaraan Selandia Baru yang sedang melangsungkan libur cuti selama dua minggu di Vietnam bersama sahabatnya si J. Selain dari dua orang ini sebenarnya aku bertemu banyak sekali orang yang seru di trip Chu Chi Tunnel. Walaupun tidak seramai trip Mekong, tapi entah kenapa para peserta trip kompak. Mungkin karena sependeritaan ‘diperintahkan’ menyusuri lorong sepanjang 200 meter yang dipakai semasa perang Vietnam. Sesak, pegal dan sedikit was-was di dalam lorong bawah membuat peserta trip memiliki perasaan bounding.

Di perjalanan balik ke HCM, Si S tiba-tiba memilih duduk di bangku paling belakang bus bersampingan denganku. S yang talkactive tidak berhenti berkelakar dihadapanku dan seorang wanita asal Sweden yang duduk di depan kami. Aku hanya menganguk sambil melihat koleksi foto perjalanan si S di North Vietnam lewat ponselnya. Perjalanan dua setengah jam kembali ke HCM city menjadi terasa singkat dengan celotehan si S. Sebelum berpisah di persimpangan, S mengajakku untuk nongkrong bareng sore itu di sebuah jalan yang dinamakannya ‘party street’. Dibilang begitu karena memang jalan tersebut penuh dengan orang-orang yang duduk di pinggir jalan dengan kursi dan meja plastik sambil meneguk bir asli Vietnam. Hampir setiap malam separuh jalanan sesak dengan orang-orang yang nongkrong untuk mengobrol sambil mimum bir di jalan tersebut. Aku mengiyakan ajakannya.

Setibanya di hostel, aku teringat salah satu pegawai hostel yang mengajakku untuk nongkrong minum kopi. Aku bertemu dengan dia tepat di depan pintu hostel. Tampaknya dia sudah menunggu kehadiranku. Awalnya aku kira dia akan mengajakku nongkrong di sekitar hostel tapi entah kenapa motor yang kami tumpangi melaju sangat jauh. Aku tanya kira-kira kita mau kemana. Si pegawai hostel menjawab hendak ke rumah saudara perempuannya. Aku jadi kesel karena teringat janji nongkrong dengan S jam 6. Kami kembali ke HCM city setelah aku desak untuk segera memutar arah. Ada sekitar 3 jam bokongku duduk di atas motor yang hanya bolak balik ke dan dari HCM city. Sepanjang jalan aku cemberut. Si pegawai hotel yang template mukanya senyum menjadi kwatir melihatku cemberut. Dia akhirnya ngebut dijalanan supaya bisa mencapai HCM city tepat waktu.

Aku akhirnya datang terlambat sekitar jam 6.20 PM. Aku sempat mengira bahwa si S dan J pasti sudah pergi. Pasalnya mereka berasal dari negara yang mengenal budaya tepat waktu, bukan orang Asia yang suka ngaret, apalagi orang Indonesia (termaksud aku). Aku berlari kecil menuju lorong hostelku, wajahku kucel dan berkeringat karena sudah beraktifitas dari pagi hari. Di lorong jalan depan hostel aku dapatkan S dan J sedang duduk menunggu sambil mengutak atik ponselnya.

Malam itu kami pergi kebeberapa tempat. Pertama ke sebuah restoran bersama dengan teman-teman Vietnamku. Usai makan, kami lanjutkan nongkrong di party street. Sambil meneguk alkohol, kami memesan makanan-makanan aneh yang dijual di pinggir jalan Vietnam. Sekitar pukul 10 malam, teman-teman Vietnamku memutuskan untuk pulang karena bagi mereka waktu tersebut sudah sangat larut. Aku, S dan J terus melanjutkan obrolan. Tidak lama kemudian kami di usir dari salah satu lapak, sehingga kami harus beranjak ke sebuah café dekat dengan party street. Setengah jam kemudian, kami kembali ke party street, duduk di lapak berbeda, dan memesan minuman beralkohol lainnya. Kami bertiga bernyanyi aneh di pinggir jalan. Sepertinya alkohol di tubuh sudah mencapai kadar dimana kesadaran sedikit lepas kendali. Tepat jam 12 malam J memutuskan untuk kembali ke hotel meninggalkanku dan S.

Aku dan S tidak peduli, kami masih asyik berkelakar hal-hal yang tidak penting. Aku malam itu sudah sedikit tidak sadar sehingga pembicaraanku jadi ngarol-ngidul. Ditambah lagi pikiranku yang masih kacau. Aku merasa aku adalah mahluk yang paling sial sedunia. Di saat aku sudah mempersiapkan semua langkah ke depan, magang di UN Bangkok, persiapan S2 ke Australia, menyewakan apartemenku, aku tiba-tiba didiagnosis sakit dan butuh perawatan beberapa bulan. Akibatnya aku harus menunda segala aktifitas yang telah kurencanakan. Waktu itu aku masih tidak terima dengan keadaan tersebut. Tidak terima dengan segala yang kurencanakan dengan susah payah harus buyar dan aku harus tergolek mengejarkan hal-hal ringan saja. Tanpa aku sadarin, semua isi kepalaku membuncah dalam obrolan dengan si S. Kira-kira beginilah percakapanku dengan S malam itu yang sampai saat ini masih aku ingat.

Aku: “Hei aku serius lho mau kunjungin kamu ke Selandia Baru. Aku kan seharusnya berangkat ke Australia bulan Januari depan. Aku sudah rencanakan mau ke Selandia Baru dari Australia waktu winter, tapi aku harus tunda studiku di Australia ke Juni. Jadi aku sekarang pengangguran lho, gak punya kerjaan, belum mulai kuliah juga.”

Dia’” Kenapa kamu gak langsung berangkat January aja?”

Aku: “Jadi beberapa minggu yang lalu, aku didiagnosis dokter sakit radang paru. Aku di suruh istirahat dan gak boleh kerja. Aku minum anti-biotik beberapa macam sampai imunku drop. Aku jadi gampang capek. Ini aja aku sebenarnya gak boleh minum alkhohol lagi, karena fungsi hatiku lemah. Efek samping konsumsi banyak obat. Tapi aku gak peduli. Aku tetap minum.” Kataku sambil meneguk lagi alkohol dari botolnya.

Aku lirik dia yang sekarang menunjukkan ekspresi simpati dan kwatir.

Aku: “Pernah gak kau mengalami kejadian yang membuat mu merasa sial? Misalnya di diagnosa sakit kanker atau apalah…”lanjutku.

Dia: “ Hmm.. di diagnose sakit kanker?Kayaknya belum pernah.”

Aku: “Tapi kamu sepertinya orang yang sangat tenang, seolah-olah kamu tidak punya masalah. Atau memang kamu tidak punya masalah besar dalam hidupmu ya?”

Dia:”Masalah besar aku punya cuma aku selalu menanggapinya dengan tenang. Sebenarnya itu tergantung perspesi atau cara pandang kita menghadapi masalah. Tahu gak aku tidak punya ayah dan Ibu.”

Aku: “Oh ya? Kamu yatim piatu?”

Dia: ”Semacam itu lah. Aku dari kecil di rawat sama kakek dan nenek. Aku gak kenal ayahku dari bayi. Ibu ku meninggalkan ku untuk di urus sama Kakek dan nenek sejak kecil. Tapi itu tidak membuatku terpuruk dan berkecil hati. Dikeluargaku jarang ada yang lulus dari universitas bagus, tapi aku berhasil mendobrak tradisi keluarga dan lulus dari University of Auckland (salah satu terbaik di Selandia Baru). Aku lulus dari jurusan accounting yang adalah salah satu jurusan terfavorit. Tidak ada yang menduga aku bisa melakukan semua itu dengan background yang kurang mendukung. Tapi ternyata aku bisa.”

Aku diam termenung mendengarkan ceritanya. Dalam hati aku membuat kesimpulan sendiri, kalau di pikir-pikir sebenarnya banyak orang yang memiliki masalah yang lebih rumit daripadaku. Tapi selama ini aku hanya terfokus pada masalahku saja. Pada akhirnya aku membuat diriku sendiri terpuruk. Masalah yang ku hadapi kalau ditinjau lagi sebenarnya tidak besar-besar amat. Toh aku masih bisa magang di Bangkok dan universitasku di Australia menungguku sampai aku sembuh, beasiswaku tidak di cabut dan aku masih bisa mencari kerja temporer selama masa perawatanku.

Saigon Beer terhidang di "Party Street"

Sering kali kita memang terfokus pada masalah sehingga kita lupa pada hal-hal positif yang di bawa bersama masalah tersebut. Misalnya dengan kondisiku sekarang aku akhirnya bisa meluangkan waktu dengan keluargaku di Medan. Dari sini aku belajar bahwa ada baiknya untuk menyerahkan kendali hidup pada Tuhan karena hidup manusia penuh dengan unexpected consequence. Everything happens for a reason. Dan Tuhan telah mengatur alasan-alasan di balik semua kejadian, termaksud kejadian yang diluar rencana. Dan aku yakin alasan itu baik adanya.

Malam itu aku pulang jam 2.30 subuh ke hostelku.Walaupun masih ingin ngobrol dengan S tapi otak waras ku mengajakku untuk pulang karena penerbanganku ke Singapura dijadwalkan jam 9 pagi itu juga. S mengantarkanku dan memelukku tepat di depan hostel sebagai tanda perpisahan. Dia kehilangan handphone kesayangannya malam itu. Handphone yang digunakan sebagai satu satunya kamera dan alat dia berkomunkasi ke rumah kecopetan banci yang berpura-pura menawarkan servis.

Sepulangnya ke Indonesia, aku dan S masih sering berkomunikasi via Facebook dan Whatsapp. Pembicarannya terakhir denganku dua hari lalu adalah curahatan tentang hubungan asmaranya yang akan kandas. Aku teringat sewaktu putus dengan mantan dulu rasanya dunia benar benar runtuh, tapi entah kenapa S terkesan lebih tenang. Apakah karena S ber-gender cowok yang cenderung lebih tenang dalam hal asmara? atau sikap tenang dia ini memang bagian dari pribadi yang selalu berusaha melihat masalah dari sudut padang yang positif? Entahlah.



Love,


Olivia

Tuesday 19 November 2013

How My 25 Begins

What a birthday. I am officially turned into quarter life crisis (only if I can life for a hundred year).

My best friends slept over in my apartment the night before my birthday. They brought me to McD Kelapa Dua at 00.30 AM and celebrated my birthday there by singing Happy Birthday loudly. So sweet.

Yet I was rushed to the hospital few hours later as my allergic got worst. Half of my face was swollen, reddish and itchy. So awful!

We arrived in the emergency unit at 2.30 AM. I got an anti-allergic injection immediately and went better in half an hour interval. My friends slept in the waiting room while waiting for the reaction of injection. One of them slept next to me in the hospital’s bed. It is so sweet of them. We went back to my apartment at 3.30 AM

When I woke up in the morning, I found my condition was much better. I felt so glad. As we got hungry, me and my friends went to eat chicken porridge for breakfast. Unexpectedly, we got trapped in the elevator on our way back to my room on the 21st floor. Thank God that we were still in the ground floor when the elevator got stuck. After half an hour of execution, we successfully got out from the damaged elevator.

I packed my stuff once my friends went home. I got a flight back to Medan that afternoon. By night around 9 PM that day, I was already in Medan eating Chinese food with my family. My fam bought me a birthday cake on our way home,

I checked my FB before ended up the day and found heaps of people congratulated me for my birthday.

I really feel special on my 25th b-day.

My wish for 25th is to start my master study soon, graduate with distinction, start a permanent career and start a family.

Ps. I had enough of traveling the last few years so I guess I’ll stop wishing for more travel. ;)


Happy 25th Dear Myself! =)



Love,


Olivia

Tuesday 12 November 2013

Working on a Project: Having My Own First Property

In my personal opinion, owning your own property is an integral part for being an independent young and grown up person. And I am all on it!

Just like most everything in life happens by coincidence, this as well.

About one and half year ago I visited my former university, Universitas Indonesia, in Depok to get the copy of my certificate because at that time I wanted to apply several scholarships (which I eventually got btw).

When I was about to eat in one my favorite restaurants in Depok, I walked through the construction of a new apartment.

I was crazy about financial management that time. So it just came in my mind when I saw the construction that I wanted to invest in that property too.

Without even notice it, my feet brought me to the marketing office of the apartment. Two days later I paid the down payment.

Time goes by. With the blessing of God (and my parents), I finally paid off the apartment under my own name. Repeat: my own name. My very own property, hell yeah!

The apartment finished few months ago and I got the key exactly a month ago. Little that I know that there is still a LOT to do before I could live there decently.

Here is the list:

1. Interior design

To do: browsing on the internet for the favorable design, visit few interior design officers to ask, compare the price.

2. Furniture

TV set, wardrobe, bed, bedside, study table, kitchen set, shoe rack, book case, etc.

3. Curtain

Besides the model, you need to exactly know the size of your window and balcony door before ordering.

4. Electronics

TV, DVD, stereo, dispenser, refrigerator, microwave, etc

5. Miscellaneous

Cover sheet, lamp, hanger, wallpaper, mirror, room freshener, accessories, etc


I used to work on a project of establishing a school. This apartment is kinda similar because it starts with just an empty room. The difference is the apartment is my very own.

Despite the fact that I went to doctor three times in a row the last 6 days for different problems (lung infection, hearing problem and massive allergic), I still managed to arrange everything needed for my apartment alone. So proud of myself!

Hi there! My name is Olivia, I am (almost) 25 single independent woman. I live in my simple yet cozy studio apartment. Oh btw the apartment is on the 21st floor.


Love,


Olivia


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Popular Posts