Thursday 23 July 2009

Luv in a Rush!

Aku akan berangkat ke Melbourne dalam beberapa hari lagi. Tapi… aku malas. Di kampung kerjaanku hanya nongkrong, browsing internet, ngobrol, nonton, belajar masak, antar jemput anggota keluarga. Ini adalah masa yang sudah lama kudambakan. Tanpa beban! Hari ini schedulenya mungkin tukar currency ke dolar Aussie dulu baru ke salon.
Anyway, kemaren aku seharian nemenin teman CS dari Slovenia (Tanja dan Janja /bacanya kayak ganja gitu). Dari mereka aku baru tahu bahwa cara baca Ljubljana, ibu kotanya Slovenia ,itu Lubhiyana. Btw, aku baru dengar nama Slovenia waktu aku masih semester satu di UI, aku dipinjami buku yang judulnya ‘Veronica Wants To Die’ dengan berseting di Slovenia *bukunya bagus lho! Recommended!*. Sebelum pulang aku bilang sama mereka ‘I have a great feeling that I’ll be in Europe next year. So, c u in Ljubljana.’ xD (Yees, I will). *Seharusnya aku berada di Eropa saat ini kalau Mom tidak menyuruhku belajar masak di Medan sehabis pulang dari Singapore/Malaysia tanggal 24 Juni lalu (Ah, Just forget it!)*
Aku pulang dari jalan2 malam (eh pertama kali lho aku jalan ke Istana Maimon ama Mesjid Raya, bodohnya! xD ) terus pulangnya tetanggaku yang juga sahabatku ‘Sari’ datang buat ngobrol bentar di rumah. Karena keletihan sekitar jam 11 malam aku ketiduran tanpa mandi lagi. Bangun pagi aku tersadar kalau aku tertidur dengan pakain yang seharian ku bawa menjajali jalan.
Aku belum prepare apa-apa buat perjalananku ke Malaysia dan Australia beberapa hari lagi! OMG. This is common to me. I luv in a rush. Tapi kayaknya kebiasaan buruk ini harus di ubah. Jadi teringat moment malam keberangkatanku ke Medan tanggal 14 Juli lalu.
Jadi gini ceritanya. Aku kembali lagi ke Jakarta dan Depok dari tanggal 9-14 Juli lalu buat ngurus cuti dan ini itu. Semalam sebelum kepulanganku ke Medan (lagi), aku mengadakan semacam pesta perpisahan dengan sahabat2ku di Depok. Jadi menggila lah sampai pagi: karokean, nongkrong di jalan, dll. Pulang ke apartemen teman (yang orangnya lagi gak di situ) sekitar jam 3 an pagi. Sekitar jam 9-an gitu aku buru-buru pergi ke tempat sepupu (di Jakarta Timur) karena aku menitipkan segala barang-barang yang mau di bawa ke Melbourne di sana. Begitu tiba di depan simpang rumahnya sepupuku di Jakarta Timur, aku liat ada salon Inan lagi promosi. Terus dalam hati aku berkata “Hm.. mumpung lagi discount paket 50 ribu, coba ah luluran dan facial. Ayayayay…”
Nah, setelah aku berleha leha dengan acara nyalon itu, aku baru sadar bahwa jam menunjukkan pukul 4.30 sore, aku belum bersiap siap apapun sementara pesawatku akan berangkat pukul 09.00 which means aku harus check in jam 07.00 an gitu lah.
Buru buru aku bereskan baju2 dan barang2 ini itu buat persiapan 6 bulan di negeri Kangguru. Plus aku harus bereskan barang-barang ex kosanku yang aku titipkan di rumah lira (yang kata orang kayak barang-barang satu rumah tangga). Gak terasa hari udah gelap. Sepupuku tiba tiba sms bilang kalau dia besok ujian jadi gak bisa ngantar. Untungnya Mami (sebutan bibi untuk suku Karo) pulang cepat (katanya rapat di gereja di percepat). Berangkat dari rumah sekitar jam 7, nyetop taxi terus nyampek di terminal Rawamangun sekitar jam 07.30 gitu. Bodohnya ternyata Damri dari sana udah habis dari jam 7. Si tukang Taxi sibuk merayu-rayu. Mami yang polos mendengaran sementara aku merasa gerah. Aku (sambil menggengam boneka Teddy Bear yang hendak ku bawa ke Aussie) tampak seperti orang linglung. Dari sini ke Bandara Cengkaren setidaknya membutuhkan waktu sekitar 1 jam, setidaknya harus setengah jam sebelumnya check ini sementara tidak ada kendaraan lagi ke Bandara, taxi sangat mahal, uang terbatas, aaaghh…!Akhirnya Mami mengambil inisiatif untuk menelpon anaknya a.k.a sepupuku si Bang Nico. Untungnya lagi Bang Nico lagi nongkrong di sekitaran Rawamangun. Tidak sampai 7 menit, Bang Nico dan Mas Deni (sepupunya B Nico) menghampiri kami. Bang Nico berlari sambil mengejar koperku yang segede gaban. Begitu naik, mobil pun di jalankan dengan segesit mungkin.
B Nico: “Jam berapa pesawat berangkat?”
Uliph: “Jam 9.00”
B Nico: “Ini udah jam berapa?”
Mas Dani: “Jam 7.40”
Saaaaaaaaaaaaaaaaaap! Mobil di kebut dengan secepat mungkin. B Nico dengan kerennya menembus rentetan mobil yang berderet berantakan di depan. Dengan dilatarbelakangi suara nasehat Mami, mobil dilaju dengan cepat.
Mami: “Makanya Uliph, lain kali kamu kalau mau pergi kamu harus siap sedia dari tadi. Ini udah berapa kali kamu seperti itu. Kemaren juga pernah blabla.. Kalau Mami buru buru juga gak pernah telat. Blablabla…”
Sementara Mas Dani bertindak sebagai kondaktur.
B Nico: “Kanan.”
Mas Dani: “Kosong, terus! Sap…!”
Supaya cepat, kami melintasi jalan tol Ancol. Pemandangan malam dihiasi lampu berwarna warni sangat indah. Jantungku berdegup kencang dan adrenalin meningkat karena seperti main game racing dalam versi beneran. Speed mungkin udah diatas 140.
Mami: “Nico, mama jantungan kalau cepat-cepat.”
B Nico: “Ah.. mama tenang aja.”
Syung…. Syung..,Mobil melaju dari punggung kanan ke punggung kiri jalan dan melomba siapa pun di depan. Pemandangan yang indah pengalaman yang indah! Ah, bukan saatnya untuk menikmati masa seperti ini pikirku dalam hati. Segera aku hubungi temanku (yang juga teman abangku yang di depok) untuk menanyakan terminal berapakan maskapai Lion Air itu. Aku memesan tiket pesawat via ATM sehingga keterangannya tidak jelas tertulis di struk ATM.
Sampai di bandara, aku melihat jam dan terkejut! Wew.. sekarang masih 8.15! Artinya kita tadi menempuh jarak sejauh itu hanya sekitar 35 menit. Aku langsung turun lalu berlari untuk check in. Bapak-bapak yang ngantri dibelakangku resek lagi. Inilah itulah. Untunglah bisa check in tanpa masalah berarti. Waktunya mepet sih memang, aku bahkan hanya punya waktu satu menit duduk di ruang tunggu pesawat sebelum penumpang di minta naik ke pesawat.
Setelah kurenungkan peristiwa itu, aku merasa sangat beruntung memiliki saudara yang bisa diandalkan. Kalau saja saat itu gak ada Mami dan Bang Nico, tiket pesawat senilai 650ribu itu pasti hangus. Lebih lagi, Aku sedang menghadapi masa kere ini. Mana sanggup lagi beli tiket! Uang bulanan dari Nyokap Bokap aja udah gak dikirim lagi. Oh untunglah Tuhan baik!
Btw, sepertinya aku belum menulis pengalaman mengesanku di Singapore bulan lalu. Akan kuluangkan waktu untuk menulisnya nanti malam or besok pagi. OK? *kalau gak sedang jalan-jalan atau malas (= *
Have a nice day!


Friday 17 July 2009

Traveling in Malacca






Hi All! Sepertinya udah lama sekali aku gak update blog ini. I’m so sorry. Belakangan terlalu sibuk dengan aktifitas yang seabrek, kerjaan kerjaan sampinganku, travelingku selama 10 hari ke luar negeri dan yang paling ribet sekarang adalah mengatur segala sesuatunya untuk urusan studi di Australia selama 6 bulan (baru kembali tahun depan). Aku berjanji akan mengurus blogku ini begitu aku fix kan akomodasi di Melbourne. Sekarang ini biarkan aku ingin menceritakan keindahan sebuah kota tua di Negeri Jiran Malaysia!

  1. Tanggal 21 Juni 2009 yang lalu, aku dan dua orang temanku berkesempatan mengunjungi Melaka, salah satu kota tua di Malaysia, terletak di tepi Selat Melaka. Secara geografis, kota ini berhadapan dengan provinsi Riau, dan sangat dekat dengan Sumatera Utara. Sangkin dekatnya perjalanan dari Riau ke Melaka bisa ditempuh dengan pesawat selama 30 menit, atau kapal Ferry selama sekitar tiga jam!

  1. Sebagai kota tua, Melaka memiliki sejarah panjang, dan masih banyak dijumpai artefak-artefak yang bernilai historis. Melaka pernah dikuasai oleh Portugis, Belanda, dan juga Inggris, sebelum akhirnya merdeka dan menjadi bagian dari negara Malaysia. Selain itu, keindahan sungai Melaka menambah kekhasan kota ini.

  1. Begitu tiba di Town Square atau Red Square, kesan antik dengan nuansa merah bata terasa saat melihat bangunan-bangunan peninggalan Portugis dan Belanda. Konon bangunan ini tidak seluruhnya berwarna merah, namun untuk menyesuaikan dengan warna Christ Church, yang terletak di sebelahnya, seluruh bangunan pun dicat merah oleh Belanda. Wah… cerahnya.

  1. Masih di sekitaran Red Square, aku disambut dengan becak-becak yang meriah banget karena dihias dengan ornamen berwarna-warni, termaksud bunga plastik. Aku terhenyak ketika lagu-lagu dengan volume kencang diperdengarkan melalui tape recorder di dalam becak.


  1. Ups, jangan lupa befoto di depan Christ Church, sebuah geraja peninggalan Belanda, dibangun pada tahun 1753. Untuk kamu ketahui, Christ Church merupakan gereja Protestan yang dibangun oleh penjajah Belanda, dan hingga kini masih dipakai umat Kristen Melaka untuk beribadah.


  1. Dari Christ Church aku berjalan menuju bukit tempat reruntuhan Gereja St. Paul. Perjalanan ke atas bukit memang sedikit melelahkan, namun usahaku tidak sia-sia sebab pemandangan dari atas bukit sungguh indah. Konon, St. Francis Xavier pernah dikuburkan di sekitar pemakaman terbuka disana sebelum akhirnya jasadnya dipindahkan ke Goa, India.

  1. Tidak hanya peninggalan Eropa yang aku temui di Melaka, ternyata pendatang China di Melaka juga meninggalkan warisan budaya tinggi. Hal itu bisa dilihat dari keberadaan kuil-kuil indah seperti Kuil Cheng Hoon Teng ini.

  1. Melaka terkenal pula sebagai kota yang penuh dengan bangunan bersejarah dan berbagai jenis museum. Muzium Maritime yang sempat aku singgahi hanyalah salah satu museum di Melaka. Ada 26 museum tua lainnya peninggalan masa kerajaan dan kolonial.



  1. Mau beli oleh-oleh? Singgahlah sejenak disekitar Jonker Walk. Disini kamu bisa dapatkan berbagai jenis asesosir dan barang lainnya, mulai dari gantungan kunci hingga baju dan tas. Disepanjang jalan, juga dijajakan berbagai minuman dan makanan khas. Salah satu yang aku cicipi adalah sate buah coklat (buah-buahan manis yang dicelup dengan coklat). Hm.. yummy..!







  1. Sebelum pulang, aku dan teman-teman mencoba bersantai sejenak dengan menikmati keindahan pemandangan di sekitar sungai Melaka dan suara terompet dari musisi jalanan pun semakin menghiasi malam yang indah di Melaka Oh… kota yang sangat artistic.




to be continued with the next journey...


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Popular Posts