Friday 29 February 2008

Buku dan Dunia Perfilman

Baru pulang kerja. Hari ini pulang cepat karena mau nyelesaikan essaiku untuk Liga Mahasiswa (LIMAS) FISIP di kamarku di asrama. Lagian kepalaku sakit di kantor. You know:
Good news: Penyakitku tampak baik setelah aku minum antibiotik 500gr.
Bad news: Aku gak bisa ikut workshop penulisan oleh Andrea Hirata (penulis tetralogi Laskar Pelangi) di FISIP UI.
Aku sebal setengah mati karena gak bisa ikutin seminarnya Andrea, padahal aku udah siapkan pertanyaan samanya (karena katanya dia mau bagi-bagi buku, jadi dalam pemikiranku kemungkinan besar dia akan bagi buku sama si penanya). Katanya udah penuh registrasi bahkan sejam sebelum dimulai. Aku sebal banget! Lihat saja kalau bukuku terbit dan jadi terkenal seperti bukunya. Padahal aku udah bela-belain baca salah satu bukunya semalaman. Oh iya, jadi teringat cerita semalam. Begini…
Ceritanya berawal karena akhir-akhir ini aku lagi kere. Hal ini disebabkan uangku sudah hampir ludes guna membayar biaya pengobatanku ke dokter. Mahal banget! Masak obat 6 biji harganya hampir 200 ribu rupiah, sementara seluruh biaya pengobatannya kira-kira gaji magangku selama tiga bulan. Mom tahu, tapi aku gak mau ngerepotin Mom jadinya aku mencari alternatif lain. Akhirnya aku mendaftarkan diri (serta teman-temanku yang lainnya) menjadi juri salah satu acara yang tengah in di salah satu acara televisi nasional. Honornya lumayanlah, cukup untuk beli dua pasang baju kemeja plus satu sepatu di ITC untuk pakaian kerja (berhubung kepala kantorku selalu melirik aneh bila melihatku berpakaian dengan style ala FISIP di kantor, jadi aku ada rencana untuk beli pakaian yang lebih kantoran).
Anyway, dua hari yang lalu salah satu staf stasiun televesi nasionalnya menghubungi aku lagi sebagai feedback rekomendasi diriku dan teman-temanku sebagai partisipan acara mereka. Aku akhirnya menghubungi teman-temanku yang kuajaki. Kami terlambat ke sana karena (lagi-lagi) aku menunda-nunda waktu. Alhasil, kami tiba di sana pukul 5.45 atau 15 menit sebelum acara di mulai. Padahal sebenarnya kami harus sudah sampa sejam sebelum acaranya. Karena kursi yang strategis sudah di duduki semua, akhirnya aku harus duduk di belakang. Huh, aku sebal! Padahal aku pengen duduk di samping si Ivan Gunawan. Tapi gak papa lah, yang penting dapat uangnya soalnya salahku juga sih yang buat telat. Selama jalannya acara aku lebih banyak nunduk melongo ke dalam isi tasku. Iya, aku lagi baca salah satu bukunya Andrea Hirata, guna mempersiapkan pertanyaan besok (yang tidak jadi aku tanyakan). Aku gak sadar waktu acaranya mulai lagi setelah break. Aku masih asyik membaca selagi semua orang bertepuk tangan. Tiba-tiba pembawa acaranya si Eko Patrio nyeletuk:
Eko: “Yang semangat dong tepuk tangannya, jangan kayak orang cacingan.”
Aku terdiam karena ia menatap jauh ke arahku. Aku melihat kesamping kanan kiriku lalu menunjuk ke arah diriku sendiri.
Eko: “Iya itu yang kaus putih. Jangan tercengang karena lihat Eko yang ganteng, jadinya ngo..(dia memperagakan wajah imbisil) gitu ngelihat Eko.”
Aku hanya cengar-cengir sambil berkata lip-sync “Habisnya Eko ganteng sih”
Karena udah diperingatkan begitu, jadinya aku tidak merasa bebas membaca-baca novel itu. Aku hanya memperhatikan sekelilingku dan observasi terhadap dunia perfilman. Aku sebal karena orang yang duduk di sampingku itu bergoyang-goyang tidak karuan kalau si artis sedang bernyanyi atau kalau lagi duduk dia menggoyang-goyangkan kakinya dengan hentakan yang keras. Karena panggungnya dari kayu, aku jadi ikut terhentak-hentak juga. Aku gak suka karena membuatku merasa mual. Terus aku ngomong,
Uliph: “Mas, tolong ya,”
Mas-masnya malah senyum-senyum tidak mengerti.
Uliph: “mengganggu.”
Mas-masnya ngerti.
Setelah aku amati lagi, ternyata dunia perfilman itu tidak selalu seperti yang kita lihat melalui layar Televisi, penuh dengan kamuflase dan kebohongan. Pemirsa di suruh bertepuk lah biar ramai, di harap berdiri lah, di minta teriak lah. Tanganku sampai merah karena kebanyakan tepuk tangan. Ditambah lagi kepulan asap yang di tebarkan sebagai efek yang akan mempercantik pemandangan di layar TV membuat sakit mataku. Bau yang di keluarkannya pun khas. Bau studio aku menyebutnya. Di sudut lain aku melihat ibu-ibu berjingkrak tidak karuan. Aku pikir orang-orang ini bertindak tanduk seperti ini guna mendapatkan uang tunai yang akan di hadiahkan kepada salah satu orang terheboh. *sigh* Memang susah ya dapat uang?
Mom tahu aku ikut acara ini. Pada dasarnya Mom senang kalau aku ikutan acara gini, katanya beliau jadi bisa lihat mukakku. Padahal kalau bukan terkait dengan uang, menurutku acar ini waisting. Lagian kalau Mom tahu aku pulang jam 12an malam, beliau pasti tidak begitu suka. Pulangnya aku dan temanku naik taksi ke Depok. Aku duduk di samping kemudi supir. Tapi mataku pedih karena AC-nya dekat sekali denganku, apalagi itu malam-malam. Jadi aku bilang ama supinya.
Uliph: “Pak, kecilin AC-nya.”
Pak supir itu pun mematikan AC dan membuka sedikit kacanya. Tapi temanku yang di belakang egois. Dia bilang yang belakang kepanasan jadi di hidupkan saja Acnya. Dalam prediksiku dia pasti gak mau rugi dengan Pak Supir, soalnya gak mungkin udah tengah malam gitu kepanasan. Meskipun di belakang ada tiga orang tapi, jam 12 malam panas gitu? Apalagi sekarang kan lagi genjarnya berita tentang Global Warming. Seharusnya kita membantu mengurangi dampak buruk pemansan global kan dan berhenti menjadi orang yang selfish!
Aku pulang dan tiba di asrama sekitar pukul satu pagi. Kesimpulan akhir yang kudapat sebelum terlelap:
Dunia entertainment perfilman= penipuan

1 comment:

  1. Hahaha... Pasti Superstar Show yak..?

    Xixixi... dapet gajinya gede yah?

    Btw.. jadi penasaran. Kalo lagi break iklan, mereka pada ngapain siyh...? *katro MODE ON*

    ReplyDelete

I'd like to read a comment from you!

Note: only a member of this blog may post a comment.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Popular Posts