Thursday 21 November 2013

Sebuah Percakapan ditepi Jalanan Saigon

I always pretend that I am strong but there are times where I feel so fragile and lost. –me-

(Kisah ini adalah kejadian nyata dan sengaja di buat dalam bahasa Indonesia agar tokoh yang diceritakan di dalam tidak mengerti kecuali berniat menerjemahkan dengan Google Translate )


Sabtu tanggal 19 Oktober yang lalu aku berangkat ke Ho Chi Minh (HCM) atau Saigon, Vietnam. Perjalanan solo travel tersebut aku mulai tanpa ada rencana menginap dimana, pergi ke mana dan mau ngapain. Aku akhirnya memutuskan untuk menggunakan tiket penerbangan yang sudah aku reschedule dua kali tersebut (yang biaya totalnya akhirnya double dari harga beli awal). Dengan mengenakan kaos putih, hot pants dan tas backpacker hitam aku bertolak menuju ke Vietnam , transit di Singapore selama dua jam. Karena aku berangkat ke Bandara Soekarno Hatta langsung dari konsultasi dokter, isi tasku penuh dengan berbagai macam obat-obatan sampai-sampai aku kwatir apabila obatnya tidak lolos screening.

Aku membawa pikiran kabut selama di pesawat. Badanku letih karena selama seminggu terakhir aku sibuk sekali dengan berbagai acara dengan teman teman di kelas pre-departure training beasiswa studiku di Australia. Belum lagi pindahan ke apartemen baru ku di Depok yang membuatku harus mondar mandir ke beberapa tempat mencari furniture. Di luar dari itu ada hal lain yang sangat mengganjal dalam pikiranku, kondisi kesehatanku. Aku menulis dan menulis di dalam pesawat untuk menuangkan semua pikiran yang berkecamuk di kepalaku sampai akhirnya tertidur pulas.

Setibanya di HCM city aku langsung meluncur ke daerah Pham Ngu Lao yang merupakan pusat turis backpacker. Aku memilih tinggal di kamar dorm share dengan enam orang lainnya. Aku tidak punya ekspektasi tinggi di perjalanan kali ini jadi aku putuskan untuk melihat lihat brosur trip harian yang tersedia di hostel (kebetulan lantai dasar hotel adalah agen tour travel). Jadi beginilah perjalanan wisataku di Vietnam kalau di runut. Hari pertama aku berwisata keliling kota HCM bersama tiga orang lokal kenalan Couchsurfing yang dulu sempat kuajak berkeliling sewaktu mereka berwisata di Jakarta. Hari kedua aku berwisata dengan tur Mekong River dari pagi sampai sore. Hari ketiga mengambil paket trip Chu Chi Tunnel.

Nah, di hari ketiga tersebut aku bertemu dengan S, seorang berkewarganegaraan Selandia Baru yang sedang melangsungkan libur cuti selama dua minggu di Vietnam bersama sahabatnya si J. Selain dari dua orang ini sebenarnya aku bertemu banyak sekali orang yang seru di trip Chu Chi Tunnel. Walaupun tidak seramai trip Mekong, tapi entah kenapa para peserta trip kompak. Mungkin karena sependeritaan ‘diperintahkan’ menyusuri lorong sepanjang 200 meter yang dipakai semasa perang Vietnam. Sesak, pegal dan sedikit was-was di dalam lorong bawah membuat peserta trip memiliki perasaan bounding.

Di perjalanan balik ke HCM, Si S tiba-tiba memilih duduk di bangku paling belakang bus bersampingan denganku. S yang talkactive tidak berhenti berkelakar dihadapanku dan seorang wanita asal Sweden yang duduk di depan kami. Aku hanya menganguk sambil melihat koleksi foto perjalanan si S di North Vietnam lewat ponselnya. Perjalanan dua setengah jam kembali ke HCM city menjadi terasa singkat dengan celotehan si S. Sebelum berpisah di persimpangan, S mengajakku untuk nongkrong bareng sore itu di sebuah jalan yang dinamakannya ‘party street’. Dibilang begitu karena memang jalan tersebut penuh dengan orang-orang yang duduk di pinggir jalan dengan kursi dan meja plastik sambil meneguk bir asli Vietnam. Hampir setiap malam separuh jalanan sesak dengan orang-orang yang nongkrong untuk mengobrol sambil mimum bir di jalan tersebut. Aku mengiyakan ajakannya.

Setibanya di hostel, aku teringat salah satu pegawai hostel yang mengajakku untuk nongkrong minum kopi. Aku bertemu dengan dia tepat di depan pintu hostel. Tampaknya dia sudah menunggu kehadiranku. Awalnya aku kira dia akan mengajakku nongkrong di sekitar hostel tapi entah kenapa motor yang kami tumpangi melaju sangat jauh. Aku tanya kira-kira kita mau kemana. Si pegawai hostel menjawab hendak ke rumah saudara perempuannya. Aku jadi kesel karena teringat janji nongkrong dengan S jam 6. Kami kembali ke HCM city setelah aku desak untuk segera memutar arah. Ada sekitar 3 jam bokongku duduk di atas motor yang hanya bolak balik ke dan dari HCM city. Sepanjang jalan aku cemberut. Si pegawai hotel yang template mukanya senyum menjadi kwatir melihatku cemberut. Dia akhirnya ngebut dijalanan supaya bisa mencapai HCM city tepat waktu.

Aku akhirnya datang terlambat sekitar jam 6.20 PM. Aku sempat mengira bahwa si S dan J pasti sudah pergi. Pasalnya mereka berasal dari negara yang mengenal budaya tepat waktu, bukan orang Asia yang suka ngaret, apalagi orang Indonesia (termaksud aku). Aku berlari kecil menuju lorong hostelku, wajahku kucel dan berkeringat karena sudah beraktifitas dari pagi hari. Di lorong jalan depan hostel aku dapatkan S dan J sedang duduk menunggu sambil mengutak atik ponselnya.

Malam itu kami pergi kebeberapa tempat. Pertama ke sebuah restoran bersama dengan teman-teman Vietnamku. Usai makan, kami lanjutkan nongkrong di party street. Sambil meneguk alkohol, kami memesan makanan-makanan aneh yang dijual di pinggir jalan Vietnam. Sekitar pukul 10 malam, teman-teman Vietnamku memutuskan untuk pulang karena bagi mereka waktu tersebut sudah sangat larut. Aku, S dan J terus melanjutkan obrolan. Tidak lama kemudian kami di usir dari salah satu lapak, sehingga kami harus beranjak ke sebuah café dekat dengan party street. Setengah jam kemudian, kami kembali ke party street, duduk di lapak berbeda, dan memesan minuman beralkohol lainnya. Kami bertiga bernyanyi aneh di pinggir jalan. Sepertinya alkohol di tubuh sudah mencapai kadar dimana kesadaran sedikit lepas kendali. Tepat jam 12 malam J memutuskan untuk kembali ke hotel meninggalkanku dan S.

Aku dan S tidak peduli, kami masih asyik berkelakar hal-hal yang tidak penting. Aku malam itu sudah sedikit tidak sadar sehingga pembicaraanku jadi ngarol-ngidul. Ditambah lagi pikiranku yang masih kacau. Aku merasa aku adalah mahluk yang paling sial sedunia. Di saat aku sudah mempersiapkan semua langkah ke depan, magang di UN Bangkok, persiapan S2 ke Australia, menyewakan apartemenku, aku tiba-tiba didiagnosis sakit dan butuh perawatan beberapa bulan. Akibatnya aku harus menunda segala aktifitas yang telah kurencanakan. Waktu itu aku masih tidak terima dengan keadaan tersebut. Tidak terima dengan segala yang kurencanakan dengan susah payah harus buyar dan aku harus tergolek mengejarkan hal-hal ringan saja. Tanpa aku sadarin, semua isi kepalaku membuncah dalam obrolan dengan si S. Kira-kira beginilah percakapanku dengan S malam itu yang sampai saat ini masih aku ingat.

Aku: “Hei aku serius lho mau kunjungin kamu ke Selandia Baru. Aku kan seharusnya berangkat ke Australia bulan Januari depan. Aku sudah rencanakan mau ke Selandia Baru dari Australia waktu winter, tapi aku harus tunda studiku di Australia ke Juni. Jadi aku sekarang pengangguran lho, gak punya kerjaan, belum mulai kuliah juga.”

Dia’” Kenapa kamu gak langsung berangkat January aja?”

Aku: “Jadi beberapa minggu yang lalu, aku didiagnosis dokter sakit radang paru. Aku di suruh istirahat dan gak boleh kerja. Aku minum anti-biotik beberapa macam sampai imunku drop. Aku jadi gampang capek. Ini aja aku sebenarnya gak boleh minum alkhohol lagi, karena fungsi hatiku lemah. Efek samping konsumsi banyak obat. Tapi aku gak peduli. Aku tetap minum.” Kataku sambil meneguk lagi alkohol dari botolnya.

Aku lirik dia yang sekarang menunjukkan ekspresi simpati dan kwatir.

Aku: “Pernah gak kau mengalami kejadian yang membuat mu merasa sial? Misalnya di diagnosa sakit kanker atau apalah…”lanjutku.

Dia: “ Hmm.. di diagnose sakit kanker?Kayaknya belum pernah.”

Aku: “Tapi kamu sepertinya orang yang sangat tenang, seolah-olah kamu tidak punya masalah. Atau memang kamu tidak punya masalah besar dalam hidupmu ya?”

Dia:”Masalah besar aku punya cuma aku selalu menanggapinya dengan tenang. Sebenarnya itu tergantung perspesi atau cara pandang kita menghadapi masalah. Tahu gak aku tidak punya ayah dan Ibu.”

Aku: “Oh ya? Kamu yatim piatu?”

Dia: ”Semacam itu lah. Aku dari kecil di rawat sama kakek dan nenek. Aku gak kenal ayahku dari bayi. Ibu ku meninggalkan ku untuk di urus sama Kakek dan nenek sejak kecil. Tapi itu tidak membuatku terpuruk dan berkecil hati. Dikeluargaku jarang ada yang lulus dari universitas bagus, tapi aku berhasil mendobrak tradisi keluarga dan lulus dari University of Auckland (salah satu terbaik di Selandia Baru). Aku lulus dari jurusan accounting yang adalah salah satu jurusan terfavorit. Tidak ada yang menduga aku bisa melakukan semua itu dengan background yang kurang mendukung. Tapi ternyata aku bisa.”

Aku diam termenung mendengarkan ceritanya. Dalam hati aku membuat kesimpulan sendiri, kalau di pikir-pikir sebenarnya banyak orang yang memiliki masalah yang lebih rumit daripadaku. Tapi selama ini aku hanya terfokus pada masalahku saja. Pada akhirnya aku membuat diriku sendiri terpuruk. Masalah yang ku hadapi kalau ditinjau lagi sebenarnya tidak besar-besar amat. Toh aku masih bisa magang di Bangkok dan universitasku di Australia menungguku sampai aku sembuh, beasiswaku tidak di cabut dan aku masih bisa mencari kerja temporer selama masa perawatanku.

Saigon Beer terhidang di "Party Street"

Sering kali kita memang terfokus pada masalah sehingga kita lupa pada hal-hal positif yang di bawa bersama masalah tersebut. Misalnya dengan kondisiku sekarang aku akhirnya bisa meluangkan waktu dengan keluargaku di Medan. Dari sini aku belajar bahwa ada baiknya untuk menyerahkan kendali hidup pada Tuhan karena hidup manusia penuh dengan unexpected consequence. Everything happens for a reason. Dan Tuhan telah mengatur alasan-alasan di balik semua kejadian, termaksud kejadian yang diluar rencana. Dan aku yakin alasan itu baik adanya.

Malam itu aku pulang jam 2.30 subuh ke hostelku.Walaupun masih ingin ngobrol dengan S tapi otak waras ku mengajakku untuk pulang karena penerbanganku ke Singapura dijadwalkan jam 9 pagi itu juga. S mengantarkanku dan memelukku tepat di depan hostel sebagai tanda perpisahan. Dia kehilangan handphone kesayangannya malam itu. Handphone yang digunakan sebagai satu satunya kamera dan alat dia berkomunkasi ke rumah kecopetan banci yang berpura-pura menawarkan servis.

Sepulangnya ke Indonesia, aku dan S masih sering berkomunikasi via Facebook dan Whatsapp. Pembicarannya terakhir denganku dua hari lalu adalah curahatan tentang hubungan asmaranya yang akan kandas. Aku teringat sewaktu putus dengan mantan dulu rasanya dunia benar benar runtuh, tapi entah kenapa S terkesan lebih tenang. Apakah karena S ber-gender cowok yang cenderung lebih tenang dalam hal asmara? atau sikap tenang dia ini memang bagian dari pribadi yang selalu berusaha melihat masalah dari sudut padang yang positif? Entahlah.



Love,


Olivia

No comments:

Post a Comment

I'd like to read a comment from you!

Note: only a member of this blog may post a comment.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Popular Posts